Ambon, 31/7 (Antara Maluku) - Keluarga besar Wandan Banda Eli-Elat dan anak cucu Mboyratan menuntut rencana pemutaran film dokumenter Banda berjudul The Dark Forgotten Traill arahan sutradara Jay Subyakto dibatalkan karena dapat menciptakan instabilitas di Maluku.
"Kami juga mengutuk keras pernyataan Jay Subyakto melalui salah satu media sosial yang mengatakan kalau orang asli Banda telah habis dibantai dan punah dalam perang genosida tahun 1621," kata ketua Dewan Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Wandan, Kamaludin Rery di Ambon, Senin.
Pernyataan Kamaludin disampaikan saat melakukan aksi demonstrasi bersama puluhan warga Banda Eli-Elat di halaman gedung DPRD Maluku.
Para pendemo akhirnya diterima ketua komisi A DPRD Maluku, Melkias Frans dan anggota komis Herman Hattu, serta Raad Rumfor dan Ridwan Elys dari komisi C.
Menurut dia, orang asli Banda yang keluar meninggalkan harta bendanya dan berpencar di berbagai penjuru Maluku hingga luar negeri masih tetap ada dan memiliki keturunan yang banyak hingga hari ini.
Mereka berpencar di Pulau Seram seperti wilayah Kabupaten Seram Timur dan Maluku Tengah, Banda Eli dan Banda Elat di Kabupaten Maluku Tenggara, maupun di Pulau Haruku (Kailolo) dan Pulau Ambon seperti di Negeri Amahusu.
"Untuk itu kami minta lembaga sensor film nasional untuk menghentikan pemutaran film dokumenter tersebut karena telah memicu instabilitas keamanan di Maluku dan dianggap membuat alur ceritera yang memutar-balikan sejarah," tandasnya.
Tokoh masyarakat Wandan lainnya, Salamun Yusran mendesak Kapolda Maluku melakukan tindakan hukum terhadap penulis naskah film tersebut M. Irfan Ramli dan sutradara Jay Subyakto karena bisa memicu konflik sosial atau suku.
Karena sudah ada fakta saling ancam dan saling hujat antara masyarakat Banda Naira dan masyarakat Banda Ely-Elat serta anak cucu Mboiratan yang terjadi di media sosial.
Keluarga besar Wandan dan anak cucu Mboyratan akan melayangkan somasi serta melapor secara resmi penulis dan sutradara karena telah memicu keresahan antarwarga dan suku di Maluku, khususnya masyarakat Wandan dengan masyarakat Banda Naira.
"Kami minta DPRD tidak hanya diam dengan tuntutan kami tetapi harus ditindaklanjuti secepatnya untuk meminta Parfi atau lembaga sensor film nasional tidak melakukan pemutaran film tersebut," tandas Yusran yang juga salah satu tokoh perjanjian perdamaian Maluku di Malino (Sulsel).
Ketua komisi A DPRD Maluku, Melkias Frans mengatakan, komisi akan melanjutkan tuntutan keluarga besar Wandan dan anak cucu Mboyratan kepada pimpinan DPRD untuk menyurati Kapolda Maluku dan instansi terkait, termasuk Parfi maupun lembaga sensor film nasional.
Sebab legislatif terikat pada masalah tata tertib dewan, dimana kewenangan membuat dan menandatangi surat keluar dari lembaga adalah pimpinan dewan.
"DPRD akan meminta polda dan polres untuk melarang pemutaran film dimaksud dan bila ada chaos dengan mereka yang ada di Banda Naira, maka itu adalah tanggungjawab aparat keamanan," katanya.