Ambon (Antara Maluku) - Ribuan warga dari berbagai wilayah di Kota dan Pulau Ambon membanjiri Desa Mamala dan Morella, Kecamatan Leihitu Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, untuk menyaksikan ritual adat Pukul Sapu, Minggu.
ANTARA Ambon melaporkan, puluhan ribu warga baik dari Kota dan Pulau Ambon maupun dari Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah, serta Pulau Haruku, Saparua dan Piru dan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), membanjiri dua desa itu untuk menyaksikan ritual tahunan yang digelar setiap 7 Syawal setelah umat Muslim merayakan Idul Fitri.
Warga sejak pagi hari telah mendatangani kedua desa yang terletak sekitar 55 kilometer sebelah Utara Pulau Ambon, dengan menggunakan puluhan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat untuk menyaksikan ritual budaya tersebut, di mana dampaknya menimbulkan kemacetan arus lalu lintas hingga dua kilometer.
Budaya adat pukul sapu di kedua desa itu, yang memiliki hubungan darah dari satu leluhur dan telah dilakukan sejak abad-16 lalu, juga menyedot perhatian sejumlah wisatawan nusantara yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Ambon.
Beberapa wisatawan mancanegara, terutama dari Australia dan Belanda serta yang kebetulan sedang berlibur ke Ambon, terlihat hadir untuk menyaksikan atraksi saling pukul memukul dengan batangan lidi yang diambil dari batang daun pohon Aren itu.
Dua kelompok
Di Desa Morella misalnya, karena banyaknya warga yang membanjiri lokasi atrksi, para pemainnya dibatasi 20 orang pemuda berbadan tanggung, bertelanjang dada yang terbagi dalam dua kelompok. Untuk membedakannya, satu kelompok diwajibkan menggunakan celana dan penutup kepala bewarna merah, sedangkan kelompok lainnya bewarna kuning.
Sehari sebelum ritual adat dilakukan, para pemuda yang akan mengikutinya telah dikumpulkan dalam rumah adat masing-masing untuk dilakukan upacara adat, serta berdoa meminta pertolongan dan restu Sang Pencipta serta para leluhur serta memberkati para pemuda yang akan mengikuti ritual tersebut.
Dengan memegang dua ikat batangan lidi yang masih mentah, kedua regu kemudian saling berhadap-hadapan, sambil menunggu bunyi peluit yang ditiup pimpinan adat. Saat seruling berbunyi kelompok bercelana merah lebih dulu memukul kelompok bercelana kuning.
Begitu pun sebaliknya saat seruling dibunyikan, giliran kelompok bercelana kuning yang melakukan serangan dan memukul kelompok bercelana merah.
Masing-masing pemuda dengan menggunakan dua hingga tiga batang lidi--berukuran lebih besar dua kali lipat dari sapu lidi biasa--memukul berkali-kali badan lawannya dengan sekuat tenaga. Area pukulan dibatasi dari dada hingga perut.
Sabetan lidi yang mengenai badan lawan mengeluarkan bunyi cukup keras menyerupai lecutan cambuk. Tidak jarang tiga batang lidi yang digunakan sudah hancur hanya pada tiga atau empat kali sabetan.
Pukulan lidi berkali-kali menyebabkan guratan merah memanjang sekujur tubuh para pemain, dan kebanyakan mengeluarkan darah segar, terkadang potongan batangan lidi turut tertancap pada kulit dan luka di tubuh mereka.
Namun, tidak sedikit pun terlihat atau terdengar erangan dan jeritan kesakitan para pemain akibat sabetan lidi. Sebaliknya mereka ketagihan untuk dipukul berulang kali. Tidak jarang warga yang berada terlalu dekat di arena juga terkena cambukan batang lidi para pemain sehingga harus meringis kesakitan.
Para penonton terlihat ngeri dan tak jarang berteriak histeris menyaksikan aksi "baku pukul" itu.
Beberapa pemuda seusai mengikuti acara adat tersebut, mengaku tidak merasakan sakit pada sekujur tubuhnya yang memar, terluka serta mengeluarkan darah segar akibat sabetan lidi tersebut. "Sabetannya hanya menimbulkan rasa gatal-gatal sehingga membuat kami ketagihan untuk terus dipukul dengan batang lidi," ujar beberapa pemain.
Pukul Sapu yang digelar masyarakat dua desa bertetangga setiap 7 Syawal atau seminggu pasca-lebaran itu memiliki hikayat berbeda. Tradisi ini di gelar masyarakat kedua desa itu untuk mengenang perjuangan Kapitan Tulukabessy menentang penjajahan Portugis dan Belada pada abad ke-16.
Satu hal yang membedakan ritual itu di Desa Morella dari yang di Desa Mamala adalah proses penyembuhan bercak bekas sabetan dan luka-luka di sekujur badan.
Para pemain di Desa Morella menggunakan getah daun jarak di tubuh masing-masing sehabis berlaga, sedangkan pemuda Desa Mamala menggunakan minyak kelapa khusus yang disebut "Nyualaing Matetu" atau yang lebih dikenal dengan minyak "Tasala" (keseleo-red).
Di kalangan masyarakat
Ambon atau Maluku pada umumnya, minyak ini lebih dikenal dengan sebutan "minyak Mamala" yang kasiatnya telah terbukti ampuh untuk mengobati penyakit patah tulang dan keseleo. Kedua cara itu akan menyembuhkan goresan cambukan dan luka-luka dalam satu-dua hari tanpa meninggalkan bekas sama sekali.