Jakarta, 29/3 (Antara Maluku) - Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Lingkungan Hidup dan Kebencanaan PP Muhammadiyah Hajriyanto Thohari menyatakan kekhawatirannya bahwa Revisi Undang-Undang Penyiaran akan didominasi kepentingan-kepentingan yang tidak menguntungkan publik.
"Saya pesimistis juga dengan revisi ini, jangan-jangan noktah-noktah reformis, demokratis dan penguatan daerah justru akan hilang, karena kepentingan-kepentingan. Karena ini berbicara kekuatan media dan politik," ujar Hajriyanto dalam seminar publik Menyoal Perpanjangan IPP 10 Stasiun Televisi, Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa.
Mantan Wakil Ketua MPR RI itu mengatakan sejauh ini wacana Revisi UU Penyiaran masih berupa penyerahan draf yang prosesnya masih sangat panjang.
Sehingga belum diketahui apa saja poin-poin revisi yang akan dilakukan dan sulit dikritisi saat ini.
Namun jika melihat kondisi koalisi masyarakat sipil saat ini yang sudah terpecah, Hajriyanto menyiratkan pandangannya atas besarnya kemungkinan Revisi UU Penyiaran hanya merugikan publik.
"Sekarang kan koalisi masyarakat sipil sudah pecah, ada yang sudah menjabat di Kantor Kepresidenan, ada yang menjadi komisaris dan lain-lain. Pokoknya ini situasi yang tidak menguntungkan atas dilakukannya revisi atas banyak undang-undang," jelas dia.
Hajriyanto menekankan dalam kondisi sekarang ini publik hanya melayangkan protes ketika ada momentum politik yang besar saja.
Dia menegaskan, publik juga tidak peduli atas terjadinya pelanggaran atas kepemilikan silang media.
"Kepemilingan silang itu kan pelanggaran yang telak sekali, ada yang punya televisi tapi punya media cetak juga, atau sebaliknya. Itu dianggap praktik biasa saja, tidak ada pelanggaran," ujar dia.
Pakar kebijakan penyiaran Paulus Widiyanto mengaku merasakan kekhawatiran serupa.
Dengan semakin sedikitnya panggung bagi publik untuk menyatakan pendapatnya, maka partisipasi publik akan lemah dalam menyampaikan saran terkait revisi undang-undang.
Paulus mengatakan solusi untuk menghindari Revisi Undang-Undang Penyiaran yang tidak menguntungkan publik adalah dengan membuka poin-poin revisi yang dianggap krusial.
Dengan demikian ada sedikit keterbukaan dalam proses revisi tersebut.