Ambon (ANTARA) - Ratusan penghuni ruko yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Pemilik Ruko Mardika (APPRM), Ambon mengeluhkan status kepemilikan lahan dan bangunan yang ditempati dengan mengantongi sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) ternyata dua objek tersebut diklaim merupakan aset Pemprov Maluku.
"Makanya kami meminta pertemuan dengan pimpinan dan anggota DPRD Maluku guna melakukan mediasi, makanya disampaikan penghargaan karena bisa bertatap muka gunam menyampaikan keluhan," kata ketua APPRM, H. Abdul Somad di Ambon, Jumat.
Penjelasan Somad disampaikan dalam rapat mediasi dipimpin Wakil Ketua DPRD Maluku, Melkianus Sairdekut dandihadiri Ketua Komisi III DPRD Maluku, Anos Yeremias bersama anggotanya..
Rapat mediasi ini juga dihadiri Ketua DPRD Maluku Lucky Wattimury, Wakil Ketua Abdullah Asis Sangkala, serta Sekretaris DPRD Maluku, Bodewin M. Wattimena.
Menurut dia, kedatangan pengurus asosiasi ke sini untuk berbicara secara baik dari hati ke hati mencari solusi terbaik demi kepentingan bersama, baik pedagang, penghuni ruko, maupun Pemprov Maluku supaya persoalannya menjadi bersih dan tuntas.
"Sebenarnya persoalannya hanya satu, yakni tanah dan bangunan ruko diklaim milik Pemprov Maluku. Padahal semestinya dari kami juga ada memiliki hak yang diperkuat dengan sertifikat HGB. Menurut aturan yang kami ketahui bahwa HGB bisa diperpanjang sewaktu-waktu, " ujar Somad.
Sehingga pihak asosiasi mendatangi DPRD Maluku meminta mediasi, kemudian mencari titik temu agar semuanya berjalan dengan baik.
Penghuni ruko Mardika yang masuk asosiasi antara 250 hingga 300 orang.
"Ada satu hal yang perlu kami sampaikan yaitu penagihan iuran secara paksa dari Biro Hukum serta BPKAD Pemprov Maluku. Padahal belum ada kesepakatannya. Apalagi, Pemprov Maluku mendesak para penghuni ruko agar pada Agustus 2020 wajib membayar iuran tersebut," kata Somad.
Ini yang disesalkan karena semestinya ada kesepakatan bersama terlebih dahulu baru proses penagihan yang batasnya sampai Desember 2020.
Pembayaran sewa bangunan dan tanah di lokasi ruko Mardika nilai nominalnya bervariasi tergantung ukuran serta letaknya. Contoh untuk ruko ukuran 55 meter persegi harus menyetor sekitar Rp15 juta.
"Tetapi ini menurut kami masih sangat mahal karena tidak sesuai standar nasional yang menggunakan persentase 0.33 persen, di mana Pemprov Maluku mengkalim besarannya 15 persen dengan rincian 5 persen untuk luas tanah dan 10 persen lagi harga bangunan," tandas Somad.
Sementara Wakil Ketua DPRD Maluku, Melkianus Sairdekut menjelaskan, persoalan ini akan dibicarakan antara komisi III bersama komisi I DPRD Maluku karena rapat hari ini hanya bersifat pertemuan sebagaimana surat yang disampaikan APPRM.
"Kami sudah menghimpun data awal karena ada dokumen lengkap yang diberikan terkait beberapa persoalan," katanya.
Sehingga konfirmasi lebih lanjut pada dua komisi dimaksud bila telah dilakukan pertemuan dan pembahasan dengan pihak asosiasi maupun perusahaan pengembang, dan Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN).
Ketua Komisi III DPRD Maluku Anos Yeremias maupun anggotanya yakni Ayu Hindun Hasanussy dan Hatta Hehanussa meminta persoalan ini dibahas serta didalami komisi dengan mengundang pihak terkait.