Ambon (ANTARA) -
Majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon menggelar sidang perdana skandal penjualan senjata api (senpi) dan munisi ke Papuanya yang dilakukan enam orang terdakwa di Ambon, Rabu.
Ketua majelis hakim, Pasti Tarigan didampingi Ronny Felix Wuisan dan Jenny Tulak membuka persidangan yang berlangsung secara virtual dengan agenda mendengarkan pembacaan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Ambon, Eko Nugroho.
Sedangkan enam terdakwa yang terlibat dalam skandal penjualan senpi dan ratusan amunisi ini adalah Sahril Nurdin alias Gadung alias La Ade (39), San Herman Palijama alias Sandro (34), Muhammad Romi Arwanpitu (38), Ridwan Mohsen Tahalua (44), Handri Mursalim alias Ica (43), serta Andi Tanan (50).
JPU dalam surat dakwaannya menjelaskan, terdakwa I Samsul Nurdin, terdakwa II San Herman hingga terdakwa VI pada 2020 dan awal 2021 bertemu Wellem Taruk alias Jek di pangkalan ojek Batumerah, Mardika, serta di bawah Jembatan Merah Putih untuk melakukan transaksi senpi dan amunisi.
Mereka dengan sengaja menyerahkan, menerima, menyimpan, dan membawa senpi serta amunisi tanpa hak.
Perkara ini bermula dari Atto Murib yang merupakan pemilik tambang emas di kilo meter 54 Nabire, Provinsi Papua berkenalan dengan Wellem Taruk yang berasal dari Kota Ambon, Maluku dan memintanya untuk mencari senpi serta amunisi untuk dibeli.
Alasan pencarian senpi dan amunisi di Kota Ambon karena merupakan daerah bekas kerusuhan atau konflik kemanusiaan sehingga mudah untuk mencarinya.
Selanjutnya Wellem berkenalan dengan terdakwa II dan berpesan kalau ada yang hendak menjual senpi rakitan tolong dicarikan karena akan dibawa ke lokasi penambangan emas di Nabire.
Kemudian terdakwa II menyampaikan kepada Wellem bahwa dia akan mencari senpi dan amunisi, kemudian terdakwa II menghubungi seseorang bernama Iwan Touhuns (berstasus DPO Polisi).
Pada Oktober 2020, Iwan menghubungi terdakwa II dan menyampaikan bahwa ada orang yang menjual senpi rakitan laras panjang jenis SS1 dengan harga Rp8 juta sehingga terdakwa II pergi ke Desa Rumahkay, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku untuk melihat barangnya.
"Setelah melihat senpi rakitan dalam kondisi baik, terdakwa II menghubungi Wellem dan menyatakan telah mendapatkan satu pucuk senpi rakitan laras panjang seharga Rp20 juta," ujar JPU dalam dakwaannya.
Selanjutnya Wellem yang sudah berada di Pulau Seram mendatangi terdakwa II dengan sebuah mobil dan menunggunya di ujung Desa Rumahkay untuk menyerahkan uang Rp20 juta lalu pergi meninggalkan lokasi itu.
Sementara terdakwa II kembali ke desa tersebut menemui Iwan dan menyerahkan uang pembelian senpi rakitan Rp8 juta.
Selanjutnya pda Desember 2020, terdakwa II kembali menerima informasi dari Iwan kalau ada yang mau menjual senpi rakitan seharga Rp6 juta, lalu terdakwa II kembali menghubungi Wellem Taruk.
Terdakwa II kembali ke Desa Rumahkay menyerahkan uang Rp6 juta kepada Iwan lalu kedua pergi ke Desa Kamariang, Kabupaten SBB untuk mengambil senpi rakitan laras panjang jenis SS1 dan menyerahkannya kepada terdakwa II.
Setelah itu terdakwa II pergi ke Desa Pia, Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah dan menyimpan senpi di rumahnya hingga 2021 sambil menunggu kedatangan Wellem Taruk ke Saparua untuk mengambilnya.
Jaksa mengatakan, pada Agustus 2020 bertempat di pangkalan ojek Lorgi, Desa Batumerah, Kota Ambon terdakwa II mendapatkan senpi jenis pistol dari saksi Amirudin Lessy alias Rudy, seorang anggota TNI-AU yang diproses hukum secara militer.
Dalam pertemuan di pangkalan ojek Lorgi ini juga hadir terdakwa IV yang menerima bisikan dari terdakwa III bahwa ada senjata, apakah bisa dijual atau tidak sambil menunjukkan barang tersebut yang terselip di pinggangnya.
"Terdakwa IV sempat bertanya kepada Romy selaku terdakwa III, apakah ini merupakan senjata kerusuhan dan diakui oleh Romy, dan senpi ini disepakati penjualannya sebesar Rp5 juta," kata JPU.
Kemudian terdakwa IV pergi ke Pasar Arumbai Mardika menemui La Ade dan menawarkannya seharga Rp6,5 juta, tetapi pembayaran awal sebesar Rp3,5 juta dimana terdakwa IV menyisihkan Rp500 ribu untuk dirinya, lalu kembali ke pangkalan ojek Lorgi menyerahkan Rp3 juta kepada terdakwa III.
Sisa pembayaran Rp3 juta kemudian diserahkan terdakwa I La Ade kepada terdakwa IV keesokan harinya di lokasi Pasar Arumbai.
Pada awal 2020, terdakwa V yang menyimpan sepucuk pistol dan satu dos amunisi milik mertuanya bertemu terdakwa I di Pasar Mardika dan pertemuan dilanjutkan ke rumah kontrakan terdakwa V dan menyerahkan Rp1 juta.
Pada November 2020, terdakwa VI yang bersahabat dengan Wellem Taruk dan pemilik tambang emas bernama Atto Murib mendapatkan perintah dari Atto untuk mencari senpi dan amunisi.
Sehingga terdakwa VI mencari saksi Milton Sialeky yang merupakan anggota TNI-AD dari Batalyon 733 (diproses pidana militer) dan keduanya pernah melakukan transaksi jual-beli amunisi sebanyak tiga kali.
Pembelian pertama sebanyak 100 butir amunisi di Bulan November 2020 seharga Rp500.000 dan transaksinya berlangsung di bawah Jembatan Merah Putih, dan seminggu kemudian dilakukan transaksi kedua berupa pembelian 100 butir amunisi kaliber 5,56 mili meter seharga Rp500.000.
Sedangkan transaksi ketiga pada Januari 2021 dimana saksi Milton menjual 400 butir amunisi kaliber 5,56 Mm kepada terdakwa VI seharga Rp1 juta, dimana uang pembelian amunisi ini berasal dari Atto Murib.
Kemudian terdakwa VI bertemu Wellem Tarup di depan Gereja Pantekosta pada Januari 2021 untuk menyerahkan amunisi yang dibeli dari saksi Milton kepada Wellem.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat nomor 12 gtahun 1951 juncto pasal 55 ayat (1) KUHPidana.
Atas pembacaan surat dakwaan JPU, tim penasihat hukum para terdakwa menyatakan tidak melakukan eksepsi sehingga majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi.
Majelis hakim juga meingatkan JPU untuk menghadirkan secara langsung para terdakwa dalam persidangan pekan depan.