Jakarta (ANTARA) - "Jungle Cruise" merupakan film baru dari Disney yang diadaptasi dari salah satu wahana favorit dan ikonis bernama sama di taman hiburan Disneyland.
Film mengambil konsep yang tak jauh berbeda dari atraksi yang diperkenalkan pada tahun 1955 di Anaheim, California, Amerika Serikat tersebut.
Wahana itu mengajak para penumpangnya berlayar dengan kapal uap Inggris tahun 1930-an menyusuri sungai-sungai besar di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan melalui tumbuh-tumbuhan yang rimbun dan Audio-Animatronic, ditemani oleh nakhoda (skipper) yang lucu.
Dalam adaptasi filmnya, "Jungle Cruise" berlatarkan di puncak Perang Dunia I, seorang peneliti wanita yang gigih, Dr. Lily Houghton (Emily Blunt), meminta layanan perjalanan Frank Wolff (Dwayne Johnson) untuk membimbingnya menyusuri bagian terdalam dan paling berbahaya dari Sungai Amazon.
Baca juga: "Seobok", makna hidup dari klon yang tak bisa mati
Lily berharap untuk mengungkap misteri suku kuno yang memiliki sebuah peninggalan legendaris dengan kekuatan untuk mengubah nasib umat manusia.
Bersama-sama, Lily dan adiknya, MacGregor (Jack Whitehall) dengan bantuan Frank dan kapalnya, mereka mencari sebuah pohon kuno yang kelopak bunganya -- yang disebut dengan "air mata bulan" -- sebuah penemuan yang menurut Lily akan mengubah masa depan kedokteran.
Selayaknya hutan hujan Amazon yang penuh dengan keberagaman dan tantangan di dalamnya, perjalanan mereka tidak semulus yang diharapkan.
Tapi saat rahasia peninggalan yang hilang mulai terungkap, taruhan pencarian Lily dan Frank semakin tinggi sebagai pasukan musuh dan kejutan lain seperti kutukan di hutan hujan tersebut kian mendekati mereka.
Film dibuka dengan narasi yang menjelaskan bahwa kelopak "air mata bulan" dari pohon besar jauh di jantung hutan Amazon dapat menyembuhkan penyakit apa pun atau mematahkan kutukan apa pun.
Narasi dan visualisasi legenda tersebut lalu beralih ke Lily dan MacGregor di London pada tahun 1916, yang tengah berusaha meyakinkan para peneliti di Inggris pada era tersebut -- di mana pria memiliki dominasi yang lebih besar daripada wanita -- agar mendukung kedua kakak-beradik tersebut untuk menjelajahi hutan hujan Amazon dan membuktikan teori sekaligus legenda tentang kelopak ajaib itu.
Baca juga: Resensi - Lukanya batin Gundala dan rating Joko Anwar
Sementara MacGregor menyajikan teorinya tentang kekuatan penyembuhan yang tak tertandingi dari pohon misterius yang dapat merevolusi pengobatan modern dan sangat membantu upaya perang, Lily menyusup ke ruang masyarakat sains untuk mencuri mata panah yang baru ditemukan yang diyakini sebagai kunci untuk menemukan "air mata bulan".
Dari sana lah, penonton diajak berkenalan dengan tokoh lainnya, penjelajah sekaligus tentara Jerman, Joachim, yang juga memiliki keinginan untuk merebut tanaman ajaib itu agar Jerman bisa memenangkan Perang Dunia I.
Setelah mendapatkan mata panah itu, Lily dan MacGregor pergi ke Amerika Selatan untuk mencari "air mata bulan". Mereka kemudian bertemu dengan skipper Frank Wolff dengan perahu usangnya. Sebagai skipper, Frank biasa membawa turis menjelajahi sungai Amazon.
Jika Anda pernah ke Disneyland dan menaiki wahana Jungle Cruise, agaknya penampilan The Rock sebagai Frank memberikan percikan nostalgia akan pengalaman Anda tersebut dengan candaan "receh" khas salah satu atraksi terlawas taman hiburan itu. Beberapa guyonan sesekali mampu membuat sedikit terkekeh mendengarnya, sekaligus mendekatkan penonton dengan penjelajahan tersebut.
Tak hanya itu, terdapat urutan babak (sequence) menyenangkan yang memperkenalkan Frank dengan cekatan menambatkan film ke akar petulangannnya dan membuat pembukaan yang jauh lebih menarik.
Baca juga: Nostalgia dan petualangan tanpa akhir "Toy Story 4"
Dari perjalanan tersebut, penonton akhirnya mengerti sedikit demi sedikit tentang kutukan dan hal-hal yang pernah terjadi di balik lebatnya misteri di hutan hujan Amazon.
Penjelajah yang tak terhitung jumlahnya selama berabad-abad telah berusaha untuk menemukan "air mata bulan" dan memanfaatkan kekuatannya, termasuk penakluk Spanyol yang dipimpin oleh Aguirre (Edgar Ramirez), yang mengkhianati penjaga asli pohon yang menyelamatkan orang-orang ekspedisinya dari ancaman hutan. Dengan napas sekaratnya, kepala suku asli mengutuk mereka untuk tetap berada di dekat sungai, tidak bisa pergi atau mati.
Film memiliki berbagai macam aksi, guyonan, elemen romansa, dan visual efek yang cantik, namun, penampilan Blunt dan Johnson yang kuat membuat penonton merasa betah menyaksikan aksi dan chemistry keduanya.
Baik Frank dan Lily adalah karakter yang digambar dengan baik, dan chemistry mereka yang saling berlawanan dapat menciptakan dinamika karakter yang begitu menarik. Penampilan John Whitehall sebagai MacGregor dan Edgar Ramirez sebagai Aguirre juga tak kalah mencuri perhatian.
"Jungle Cruise" pun agaknya memiliki banyak hal yang membangunkan memori penonton, terutama para penggemar film petualangan.
Sutradara Jaume Collet-Serra menyisipkan beberapa hal yang mengingatkan penonton akan film-film "Indiana Jones" terutama "Raiders of the Lost Ark" (1981). "Romancing the Stone" (1984), "The African Queen" (1951), bahkan "The Mummy" (1999) mungkin juga menginspirasi film ini karena memiliki elemen keseruan yang kurang lebih sama.
Dengan dinamika karakter yang baik dan kedekatan emosional yang mampu dibangun, bukan hal yang mustahil bila "Jungle Cruise" bisa dikembangkan menjadi sebuah franchise seperti layaknya kesuksesan "Pirates of Carribean" -- yang juga berawal dari adaptasi wahana bermain Disneyland.
Seperti atraksinya, "Jungle Cruise" rasanya mampu mengajak keluarga dan anak-anak untuk berpetualang bersama. Film ini juga sudah dijadwalkan untuk tayang di bioskop Indonesia. Jadi, nantikan perjalanan menyenangkan bersama Dr. Lily dan skipper Frank segera!
Baca juga: Resensi - "Star Trek Beyond"
Resensi film, "Jungle Cruise" ajak penonton berpetualang di hutan hujan Amazon
Jumat, 30 Juli 2021 9:50 WIB