Ambon (ANTARA) - Dua fasilitas umum, yakni Bandara Rar Gwamar dan Pelabuhan Yos Sudarso di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, sudah bisa beroperasi kembali pada Kamis, setelah sebelumnya sempat disegel adat atau sasi oleh masyarakat adat Marafenfen yang kecewa akibat keputusan perkara sengketa lahan adat dengan TNI AL.
"Pada pagi ini sasi adat sudah dibuka oleh tokoh masyarakat dengan mediasi langsung oleh Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Aru, Kapolres Aru, Ketua DPRD, Danramil dan Forum Kerukunan Umat Beragama," kata Kabag Protokoler dan Humas Setda Kepulauan Aru, Erens P.M. Kalorbobir, ketika dihubungi dari Ambon, Kamis.
Ia menjelaskan proses pelepasan sasi menggunakan acara adat, dan masyarakat adat Marafenfen terlihat memahami bahwa kedua fasilitas tersebut sangat vital fungsinya untuk pelayanan umum. Proses acara adat berlangsung aman dan terkendali, meski ada beberapa warga Marafenfen yang terlihat meluapkan kesedihan mereka.
"Bupati Johan Gonga menyampaikan pesan bahwa pemerintah kabupaten (Pemnkab) Kepulauan Aru tetap bersama rakyat. Namun, dalam kasus ini ada aturan hukum yang berlaku. Tapi Bupati tetap berpihak pada masyarakat," ujar Erens mengulang pesan Bupati Aru saat proses pembukaan sasi adat.
Baca juga: Warga Kepulauan Aru rusaki dan 'segel adat' kantor PN Dobo, begini kronologinya
Meski begitu, ia mengatakan masyarakat adat sampai dengan siang ini belum melepas "sasi" di kantor Bupati dan DPRD Kepulauan Aru serta Pengadilan Negeri (PN) Dobo. Ketiga gedung tersebut tidak boleh digunakan dan disegel menggunakan janur kuning kelapa sebagai penanda sasi adat. "Masyarakat masih sasi kantor Bupati, DPRD dan kantor PN dengan harapan agar negara benar-benar memperhatikan masalah yang menimpa masyarakat Marafenfen," ujarnya.
Ia mengatakan secara keseluruhan kondisi Kota Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru relatif kondusif setelah terjadinya kericuhan usai putusan sidang perdata sengketa lahan adat Marafenfen di PN Dobo pada Rabu (17/11). Jalan raya yang sebelumnya ditutup oleh masyarakat kini sudah bisa dilalui sehingga arus lalu lintas sudah lancar.
Sementara itu, koordinator lapangan dari masyarakat adat Marafenfen Nahum, mengatakan sasi adat akan terus dipasang di kantor Bupati, DPRD Aru dan PN Dobo sampai pemerintah daerah benar-benar menunjukan itikad baik untuk memperjuangkan masalah masyarakat adat Marafenfen.
"Proses sasi adat akan terusa dilakukan sampai tuntutan masyarakat dipenuhi, sampai pemerintah daerah mau melihat perjuangan ini. Karena dari awal persidangan tidak ada respon baik dari pemerintah daerah," ujarnya.
Menurut dia, massa yang masih bertahan memang tidak sebanyak hari Rabu lalu dan kini terkonsentrasi di Lapangan Yos Sudarso di Kota Dobo.
Baca juga: Situasi Kota Dobo Maluku kondusif usai bentrok sengketa lahan adat, begini kronologisnya
Sebelumnya, pada Rabu (17/11) siang kemarahan masyarakat adat Marafenfen tersulut setelah mendengar putusan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Dobo memenangkan pihak tergugat, yakni TNI AL dalam perkara perdata sengketa kepemilikan tanah adat Marafenfen seluas 689 hektare. Penasihat Hukum Masyarakat Adat Marafenfen Samuel Wailerunny menyatakan, sudah disepakati bahwa masyarakat adat memutuskan untuk banding terhadap keputusan kasus perdata pada sidang gugatan yang memenangkan TNI AL. "Sudah disepakati bahwa kita nyatakan banding," ujarnya.
Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan pihaknya akan terus mendukung proses hukum yang diambil oleh masyarakat adat Marafenfen. Ia menilai, putusan hakim di PN Dobo menunjukan bahwa sistem hukum belum mampu memberikan keadilan yang dicari dan didambakan berpuluh-puluh tahun oleh masyarakat adat Marafenfen.
"Pengadilan belum mampu secara jelas melihat kebenaran-kebenaran yang melampui teks,surat-surat, maupun dokumen resmi. Ada ketidakmampuan hakim untuk memilah fakta-fakta yang otentik dengan yang sudah dimanipulasi," ujar Rukka.
Konflik lahan masyarakat Adat Marafenfen sudah berlangsung selama puluhan tahun, berawal dari Januari 1992 saat aparat TNI AL mengklaim sudah ada pembebasan lahan masyarakat di Desa Marafenfen Kecamatan Aru Selatan untuk pembangunan Lapangan Udara TNI AL (Lanudal) Aru. Masyarakat Adat Marafenfen merasa pengambilalihan lahan mereka oleh aparat dilakukan secara paksa, sehingga kehidupan warga setempat yang bergantung pada hutan jadi terganggu.
Baca juga: Mercy Barends : Rasio elektrifikasi di Kepulauan Aru masih sangat rendah, pertanyakan kinerja PLN
Baca juga: Kadis PUPR Kepulauan Aru dituntut empat bulan penjara terkait KDRT
Bandara dan Pelabuhan Aru Maluku sudah lepas dari "penyegelan adat", begini penjelasannya
Kamis, 18 November 2021 13:22 WIB