Ambon (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Maluku menuntut Adrianus Sihasale, Wilelma Fenanlampir, dan Frans Pelamonia, tiga terdakwa dugaan korupsi dana proyek taman kota dan pelataran parkir pada Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Tanimbar masing-masing selama 8,5 tahun penjara.
"Meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan para terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 2 ayat 1 Juncto pasal 18 UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi sebagai dakwaan primer," kata JPU Achmad Atamimi di Ambon, Senin.
Para terdakwa juga melanggar pasal 64 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Tuntutan JPU disampaikan dalam persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim Tipikor Ambon Jenny Tulak didampingi dua hakim anggota.
Untuk terdakwa Adrianus Sihasale yang merupakan Kadis PUPR Kabupaten Kepulauan Tanimbar juga dituntut membayar denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan serta membayar biaya perkara Rp5.000.
Kemudian untuk terdakwa Wilelma Fenanlampir selaku PPTK dan Frans Fenanlamir dituntut membayar denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan.
Ada pun hal yang memberatkan para terdakwa dituntut penjara dan denda karena tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, sedangkan yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan dan belum pernah dihukum.
JPU mengatakan, sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), terdakwa Wilelma tidak cermat dalam proses penyusunan amandemen kontrak, dan ternyata ada penambahan item pekerjaan pasangan batu karang yang hanya memuat harga satuan tanpa disertai dengan volume.
"Tugas PPTK mencakup mengendalikan pelaksanaan kegiatan, melaporkan perkembangan pelaksana kegiatan dan menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan," jelas JPU.
Kemudian Frans Yulianus Pelamonia yang bertugas sebagai pengawas lapangan bersama saksi Abraham Kore (almarhum) tidak membuat dokumentasi dan kertas kerja ketika melakukan penghitungan untuk perubahan desain dan volume yang dimintakan oleh penyedia.
Terdakwa membiarkan penyedia melakukan pemasangan paving block yang tidak sesuai dengan pekerjaan fisik terpasang, dimana seharusnya laporan kemajuan pekerjaan dibuat dan menjadi tanggung jawab pihak penyedia jasa.
Sementara terdakwa Sihasale yang juga sebagai KPA merangkap PPK tetap melakukan pembayaran atas item pekerjaan paving block yang tidak sesuai dengan kontrak pengadaan.
Ia juga menandatangani berita acara penyelesaian pekerjaan dalam bentuk berita acara pemeriksaan hasil pekerjaan 100 persen dan berita acara serah terima barang dan profesional hand over (PHO).
Kemudian dilampirkan pada surat permintaan pembayaran langsung padahal kenyataannya pekerjaan tersebut di lapangan tidak sesuai kontrak.