Ambon (ANTARA) - Warga Negeri (Desa) Dwiwarna Banda Neira Provinsi Maluku memperingati 403 tahun peristiwa genosida pada masyarakat Banda Neira serta 44 orang tokoh masyarakat Banda oleh VOC, dengan menggelar acara adat buka kampung.
“Kegiatan ini namanya kegiatan buka kampung dalam rangka memperingati dua peristiwa besar, yaitu pertama tragedi kemanusiaan di Banda Neira yang dikenal dengan genosida 44 orang kaya di Banda selaku tokoh-tokoh Banda oleh penjajah Belanda,” kata Kepala Pemerintah Negeri Dwiwarna Banda Neira Supriandi Marassabessy di Banda Neira, Sabtu.
Ia menjelaskan, pembantaian yang terjadi di Banda pada 8 Mei 1621 tersebut dilakukan oleh VOC untuk memonopoli perdagangan dengan menyebarkan fitnah kepada masyarakat pribumi, Inggris, dan Portugis sehingga mengacaukan perdagangan.
Para korban pembantaian dimutilasi menjadi empat potongan, sebagian tubuhnya digantung di pohon bambu dan sebagian dimasukkan ke sumur.
Selain peristiwa itu, katanya, prosesi adat tersebut juga untuk mengenang letusan gunung api Banda pada tahun 1988 yang merupakan erupsi terakhir dalam sejarah letusan gunung berapi di Banda, Maluku Tengah.
“Erupsi itu telah menewaskan tiga orang warga dan menghancurkan delapan perkampungan di pulau vulkanik tersebut, yakni Kampung Sambayang, Batu Kuda, Batu Angus, Kalobe, Paser Basar, Tanjung Baru, Nawao dan Kapal Pica, dalam satu wilayah admistratif Desa Gunung Api Utara,” katanya menjelaskan.
Supriandi melanjutkan, dalam adat buka kampung terdapat prosesi buka puang yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia yakni terbukanya mayang kelapa yang melambangkan persatuan adat Negeri (Desa) di Dwiwarna, sekaligus sebagai semangat untuk mempertahankan negeri dari segala gangguan.
Kemudian pemasangan atribut adat yang ada, pemasangan tiang-tiang adat secara simbolis, pengoperasian perahu belang atau perahu naga, hingga tarian adat cakalele, dan akhirnya sampai pada prosesi tutup kampung.
“Seluruh acara adat tersebut dilakukan sepanjang sepekan tergantung dengan banyaknya prosesi yang dilakukan,” katanya.
Berdasarkan pantauan, ada lima pemuda Negeri Dwiwarna yang menggunakan pakaian perang lengkap dengan topi perang atau capsette, yang melambangkan kesiapan dalam berperang melawan penjajah.
Pada prosesi itu tampak mereka kembali ke rumah raja negeri diiringi dengan tabuhan tifa dan beberapa remaja perempuan berkebaya untuk menyambut para prajurit dari medan perang.
Melalui kegiatan adat seperti ini Supriandi berharap generasi muda dapat melestarikan adat negerinya, dan tidak melupakan sejarah Banda Neira.