Jakarta (ANTARA) - Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Habib Rab menyebutkan Pemerintah Indonesia perlu menyeimbangkan kebijakan kenaikan suku bunga dengan kebijakan fiskal, makro prudensial, dan reformasi struktural.
“Ini yang akan memastikan bahwa inflasi dapat dikelola bersamaan dengan menghindari keruntuhan total dalam pertumbuhan ekonomi,” katanya dalam SOE Internasional Conference yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Ia menyebutkan 70 persen perekonomian dunia telah diperkirakan mengalami penurunan yang signifikan pada pertengahan 2022 dibandingkan pada awal 2022, tetapi terdapat pengecualian untuk beberapa negara berkembang yang merupakan eksportir komoditas, seperti Indonesia.
Habib Rab juga memperkirakan perekonomian negara di wilayah Asia Timur dan Pasifik akan tetap tumbuh tinggi dengan inflasi yang lebih rendah dibandingkan rata-rata negara perekonomian besar di wilayah lain pada 2022 dan 2023.
Baca juga: Bank Dunia - Makin Banyak Negara Berkembang Dekati MDGS
Hanya saja, satu persen penurunan pertumbuhan ekonomi baik di negara-negara G7 maupun di China akan menurunkan pertumbuhan ekonomi negara-negara besar di Asia Timur dan Pasifik hingga 0,5 sampai 1 persen.
“Jadi situasinya akan lebih baik dibandingkan dengan negara di wilayah lain. Tapi kami tidak melihat ruang untuk kepuasan karena pelemahan ekonomi global tetap akan berdampak terhadap perekonomian di Asia Timur dan Pasifik,” katanya.
Ia juga menyebutkan diperlukan kebijakan yang seimbang dalam menjaga tingkat suku bunga, nilai tukar, dan kontrol modal, sekalipun negara di Asia Timur dan Pasifik berada di posisi yang lebih baik karena kenaikan tingkat utang pemerintah di wilayah ini rata-rata lebih rendah dibandingkan negara lain.
Di samping itu juga diperlukan kerangka kerja untuk merestrukturisasi utang, baik utang pemerintah maupun pelaku usaha, yang meningkat signifikan di sebagian besar negara.
“Pengelolaan peningkatan utang ini membutuhkan kerangka kerja restrukturisasi utang yang kita telah kita lihat di krisis sebelumnya, yang mana ini penting untuk memungkinkan ruang bernapas dalam neraca perbankan dan perusahaan sehingga shock yang sementara tidak akan berdampak terhadap penurunan output permanen,” ucapnya.