Ambon (ANTARA) - Kepala BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) Maluku Sevy Renita Setyaningrum menyatakan capaian kepesertaan di Provinsi Maluku mencapai 45 persen.
Data BPJS Ketenagakerjaan Cabang Maluku, jumlah badan usaha yang mendaftarkan pekerja ke program perlindungan BPJAMSOSTEK sebanyak 4.819 perusahaan , dengan jumlah tenaga kerja 229. 405 orang atau 45 persen.
"Tenaga kerja di provinsi Maluku yang telah terdaftar hingga April 2024, sebanyak 229.405 orang atau 45 persen, kita berupaya agar pihak perusahaan memberikan perlindungan bagi pekerja," katanya, di Ambon, Senin.
Ia mengatakan, masih ada 55 persen tenaga kerja di provinsi Maluku yang belum terlindungi, padahal perlindungan terhadap tenaga kerja telah di atur dalam undang-undang dan wajib dipatuhi oleh pemberi kerja di Indonesia termasuk di Maluku.
"Seharusnya semua pekerja terlindungi dalam program BPJAMSOSTEK, sehingga mereka bekerja dengan tenang dan nyaman," katanya.
BPJS Ketenagakerjaan terus melakukan strategi ekstensifikasi, intensifikasi dan retensi peserta bekerja sama dengan kementerian/lembaga dan strategi para pemangku kepentingan melalui sosialisasi kepada masyarakat baik langsung maupun melalui media, serta melakukan kampanye "Kerja Keras Bebas Cemas".
Sudah waktunya negara hadir untuk melindungi para pekerja di Maluku baik buruh formal seperti pekerja di berbagai industri maupun buruh.
“Dengan semangat sejahterakan pekerja menjadi pengingat, negara telah hadir melalui BPJS Ketenagakerjaan, semua inisiatif dan terobosan yang saat ini BPJS ketenagakerjaan lakukan, semata-mata demi menjamin seluruh pekerja Indonesia dan keluarganya menjadi sejahtera," katanya.
Ketua Konfederasi Serikat Buru seluruh Indonesia (KBSI) Maluku, Yeheskiel Haurissa mengaku masih banyak perusahaan yang hanya mendaftarkan sebagian kecil pekerja ke program BPJAMSOSTEK.
Misalnya ada 100 orang, perusahaan hanya daftar 20 orang saja, sehingga masih banyak pekerja yang belum terlindungi," cakapnya.
Aturan yang dikeluarkan pemerintah masih belum dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah daerah dan pemberi kerja.
"Hingga saat ini belum ada perusahaan yang diberikan sanksi berat karena tidak menaati peraturan undang-undang tersebut, sehingga tidak ada efek jera dan membuat perusahaan atau pemberi kerja tetap melakukan hal nakal dan itu berdampak buruk bagi para pekerja," katanya.*