Ambon (ANTARA) - Arkeolog Karyamantha Surbakti, menyarankan agar pengelolaan tinggalan Perang Dunia Dua di Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara perlu menerapkan pendekatan partisipatif berbasis pemberdayaan masyarakat, agar mereka juga terlibat dalam perlindungan situs bersejarah dari penyalahgunaan.
"Pengelolaan kolaboratif lintas sektor dengan melibatkan masyarakat untuk pemberdayaan, sehingga ada upaya dari mereka juga untuk menjaga tinggalan bersejarah yang berada di sekitar lokasi pemukiman," kata Arkeolog Karyamantha Surbakti dari Balai Arkeologi Maluku di Ambon, Kamis.
Ia mengatakan setelah Jepang menyerah pada 1945, pangkalan militer di Pulau Morotai ditinggalkan dengan menyisakan benda-benda dan bangunan bekas instalasi militer. Saat ini sebagian peninggalan sejarah tersebut telah digunakan oleh masyarakat setempat.
Guna mencegah terjadinya pengerusakan berkelanjutan yang berdampak pada pengaburan sejarah, pengelolaan situs dan peninggalan Perang Dunia Dua dipandang perlu menggunakan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat juga dilibatkan untuk melindungi sejarah.
Baca juga: Warga Joubela gunakan puing beton bekas markas Australia untuk bangun rumah, bukti perang dunia II
Masyarakat, ujar Karyamantha, harus diberi pemahaman bahwa keotentikan potensi arkeologis dari jejak Perang Dunia Dua di Morotai harus dijaga, karena tindakan vandalisme dalam bentuk apapun dan mengambil beragam cuplikan tinggalan yang ada di bawah permukaan tanah akan merusak matriks temuan, sehingga konteks asli sejarah akan tercerabut.
Pendekatan partisipatif dengan menempatkan masyarakat sebagai titik pusat pelaksanaan pemberdayaan untuk pengelolaan situs dan peninggalan bersejarah, akan memberi dampak positif sebagai upaya perlindungan sejarah.
"Masyarakat awam sekalipun harus diberitahu bahwa potensi arkeologis di seantero wilayah Morotai harus dijaga, karena temuan yang tidak satu konteks lagi dengan lokasi di mana ditemukan pertama kalinya akan menyebabkan kebingungan interpretasi dan dapat menyebabkan pengaburan sejarah," ucap Karyamantha.
Berdasarkan penuturan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pulau Morotai Fornichly Revi Dara, pada masa sebelum tahun 1980-an, masyarakat hidup dan tinggal berdampingan dengan benda-benda besi tua peninggalan Perang Dunia II seperti peluru, granat, meriam dan senjata.
Baca juga: Dispar Morotai intensifkan pelatihan berselancar, jaring wisatawan
Beberapa benda dan barang peninggalan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dipergunakan kembali, seperti kendaraan, alat makan, perkakas rumah tangga dan bahan bangunan sisa-sisa fasilitas dan markas militer sekutu.
Pada periode tahun 1980-an hingga 1990-an berlangsung proyek pengumpulan besi-besi tua peninggalan Perang Dunia Dua di Morotai yang diinisiasi oleh Herlina, satu-satunya wanita dari pasukan penerjun payung TNI Angkatan Udara yang itu andil dalam pembebasan Irian Barat.
Ribuan ton rongsokan besi tua seperti tank, peluru, senjata dan lain-lain dikumpulkan dan dikirim ke Pulau Jawa untuk dilebur oleh perusahaan Krakatau Steel. Kegiatan proyek yang berlangsung masif pada kurun waktu tersebut mengakibatkan berbagai peninggalan sejarah Perang Dunia Dua hampir sepenuhnya hilang dari Morotai
"Dulu dapat dikatakan bahwa masyarakat Morotai sehari-harinya berdiri di atas rongsokan besi tua. Sekarang ini besi-besi tua peninggalan Perang Dunia Dua di Morotai sangat jarang ditemukan," katanya.
Baca juga: Dispar bangun objek wisata Morotai, jangan manipulasi anggaran