Ambon (ANTARA) - Tokoh agama di provisi Maluku menegaskan, konflik yang terjadi antarwarga Ori - Kariuw di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah bukan disebabkan konflik suku agama, ras antargolongan (SARA).
Sekretaris Umum MUI Maluku, Abdul Manan Latuconsina, di Ambon, Rabu, menyatakan, bentrokan antara warga dua desa bertetangga di wilayah itu bukanlah konflik SARA maupun konflik agama.
"Kami ingin menegaskan bahwa konflik yang terjadi antarwarga Ori dan Kariuw bukanlah konflik SARA atau konflik agama, atau konflik Islam dan Kristen, tetapi murni karena sengketa lahan," tegas Abdul Manan usai menghadiri pertemuan antara tokoh agama bersama Pemerintah Provinsi Maluku, di Ambon.
Karena itu, ia meminta media untuk memberitakan kondisi sebenarnya yang terjadi, sehingga masyarakat tidak terprovokasi dan memperkeruh situasi saat ini.
MUI Maluku secara institusi sangat menyesalkan dan menyayangkan terjadinya insiden tersebut dan meminta seluruh pemangku kepentingan termasuk aparat keamanan membantu mengamankan situasi yang terjadi di wilayah Maluku khususnya di Pulau Haruku agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
"MUI secara kelembagaan siap membantu pemerintah dan aparat keamanan menciptakan stabilitas keamanan di Kariu, Pelauw dan sekitarnya, karena itu setelah mendengar apa yang terjadi di sana kami langsung menghubungi tokoh-tokoh yang berkompeten para imam, tokoh masyarakat agar bisa menahan diri," tegasnya.
Ketua Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) pendeta Elifas Tomix Maspaitella, juga menegaskan, konflik antarwarga dua desa itu bukan dilandasi SARA atau konflik agama. "Ini bukan konflik Agama, tetapi sengketa lahan yang lamban disikapi pemerintah dan aparat keamanan," katanya.
Karena itu, semua pihak diminta menahan diri dan menjadikan konflik tersebut sebagai masalah bersama untuk diatasi dan menciptakan keamanan dan kedamaian di Maluku.
"Pada intinya kami hanya ingin masalah ini secepatnya diselesaikan dan tidak berekses ke daerah lain serta seluruh proses perdamaian dapat dibangun kembali.
Para tokoh agama, ujar Elifas siap bergandengan tangan dan turun ke lapangan untuk membantu proses rekonsiliasi antarwarga yang bertikai.
"Kita pernah memiliki pengalaman konflik kemanusiaaan berkepanjangan pada 1999 dan semua orang Maluku telah belajar dari pengalaman tersebut. Karena itu, semua elemen masyarakat di Maluku harus dapat bersatu dan melawan berbagai bentuk provokasi di tengah masyaakat," katanya.
Sedangkan Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (BINDA) Maluku, Jimmy Aritonang, menegaskan, ada permainan sekelompok pihak yang ingin menggiring konlik antarwarga dua desa itu ke konflik SARA.
"Karena itu tolong semua langkah pengamanan maupun pemberian dikoordinasikan dengan ketat bersama aparat keamanan khususnya TNI dan Polri, sehingga tidak pemikiran negatif di masyarakat," katanya.
Begitu pun menyangkut pemberian bantuan, Aritonang juga meminta Pemprov Maluku maupun Kabupaten Maluku Tengah untuk mengordinasikannya dengan baik sehingga tidak dinilai hanya memihak satu kelompok dan mengabaikan kelompok lain.
Dia juga menegaskan, telah diminta oleh Kepala BIN untuk segera berkoordinasi dengan pemprov maupun para tokoh agama, guna mencegah masalah tersehut di giring ke konflik agama atau SARA.
"Jadi saat ini yang paling tepat turun ke lapangan untuk mendinginkan emosi warga adalah tokoh agama masing-masing, karena suaranya bisa didengar umatnya," katanya.